Pages

Thursday, July 31, 2008

Allah Sebagai Tumpuan di Puncak Kesadaran Kita

Shohbet ini ditulis dengan bahasa asli yang keluar dari bahasa hati Syaikh Mustafa Haqqani melalui rekaman audio yang kami putar ulang. Semoga shohbet ini mengetuk pintu Allah agar wushul dan pintu karat hati akibat dari kelalaian, aniaya diri dan kesembronoan kita. Amiin.

A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Allaahumma shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammadiw wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Allah Allah Azis Allah
Allah Allah Subhan Allah
Allah Allah Sulthon Allah
Allah Allah Karim Allah

Saudara-saudariku,
Mari kita rentas tali hubungan yang hidup antara kita dan Allah untuk menghidupkan majlis ini, untuk membuka antenna parabola kita supaya yang dibilang oleh Prof. Dr. Amin Syukur tadi bisa di clearkan. Beliau bilang dengan rendah hati meminta maaf tidak bisa menyambut dengan sebaik-baiknya, tapi yang beliau berikan sudah lebih dari apa yang kita semua dapat capai, karena beliau menyambut kita dengan doa. Moga-moga ridho Allah terlimpah kepada kita. Apa ada hal yang lebih baik dari yang dibilang Pak Amin ? Tidak ada, sudah sangat bagus sekali. Tapi begitulah saudara-saudariku kita harus mengambil posisi dan memproposisikan diri dikehidupan kita. Mari kita tarik dan kita rentas hubungan real antara kita dengan Allah.

Allah Allah Azis Allah
Duh Gusti kulo niki hina, mboten wonten napa-napane (Ya Allah, saya ini hina, tidak mempunyai apa-apa). Aku adalah kesempurnaan dari ketidak berdayaan diri. Engkaulah yang maha Perkasa. Engkaulah yang Maha Suci. Monggo di gesangake (mari kita hidupkan) pertalian antara dua titik (hamba dan Allah) yang kita hidupkan dengan tulus. Itulah Islam, itulah penghambaan diri kita kepada Allah. Itu awal dari langkah kita untuk menjemput rahmat Allah. Rahmat memang diturunkan kepada kita, seperti partikel di udara, tak terbilang, tak pernah terhenti. Begitu ada ruang kosong, masuk dia (baca: udara). Itulah rahmat Allah. Rahmat yang mengimplikasikan barakah ridho dan keabadian karunia di alam baqa, yang bermula dari karsa. Karena itu kita sudah dimerdekakan oleh Allah untuk membangun sendiri karsa dikehidupan. Kita berada dalam track kehidupan yang seperti itu.

Allah Allah
Allah Allah Karim Allah
Oh… Allah…kehidupanku, kehidupan kami adalah suatu sense, suatu kesadaran mengenai mengenai kefakiran dan kebutuhan yang tiada pernah henti. Suatu kebutuhan belum tunai, datang kebutuhan lain. Aku dan kami tak berdaya Ya Allah. Engkau beri suatu gita dalam kehidupan kami untuk selalu butuh, padahal kami lumpuh, buntung, tidak apapun, tapi untung Engkau maha kaya dan pemurah. Engkau suruh kami untuk hidup secara baik dan benar begitu diberitahukan oleh kekasihmu Muhammad, yang selalu kami lupa. Kau suruh kami untuk menjadi baik dan benar., Kami sedang membangun keyakinan. Mana mungkin kami berjalan dengan baik dan benar bila Engkau tidak akan mencukupi kami. Yang tidak kami mintapun Engkau memberi.

Allah Allah Subhan Allah
Duh Gusti Kulo niki keliru terus Gusti. Mboten leren-leren. (Ya Allah, kami ini banyak salahnya, terus menerus berbuat salah). Maju sedikit mandur banyak, maju sedikit mundur banyak lagi, maju sedikit mundur banyak lagi. Akhirnya kemunduran yang aku jalani. Hakekat kehidupan kita ini adalah suatu kemunduran yang tidak bisa dibendung. Untung Engkau Maha Suci, memberi aku, memberi kami semua suatu track kehidupan yang positif “ Innaa sholata kaanat ‘alal mu’miniinaa kitaaban mauquta.” Engkau jaga kami dengan periode yang begitu close circuit, keliru Engkau hadang dengan tasbih, Engkau beri, Engkau luberkan kecucianMu, Engkau ajari kami bahwa ketika Nabi Muhammad dulu lahir, terlahir didunia ini dengan karsa serta manifestasi dari rahmatMu, seluruh isi cakrawala bertasbih. Subhanallah Walhamdulillah Walaa illaahaillallah Allahu Akbar. Engkau suruh kami untuk berada dalam close circuit dikehidupan ini bernyanyi bersama malaikat untuk meraih dan menggapai Nabi Muhammad. Maha Suci Engkau Ya Allah.

Allah Allah
Allah Allah Sulthon Allah
Engkau adalah puncak kesadaranku Ya Allah. Engkau adalah sulthan, sulthan diantara sulthan-sulthan yang ada. Abadilah Engkau dipusat kesadaranku Ya Allah, bahkan di akar kesadaranku.

Saudara-saudariku,
Ketika aku dan kamu telah beranjak lebih maju untuk mengabadikan Allah sebagai tumpuan di puncak kesadaran kita, itulah dzikir, itulah Islam, itulah Ihsan. Anta buddallah kaanaka taroohu fainlam takun taroohu fainnahu yarooka (Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu). Kapan aku dan kamu punya prakarsa untuk mengahadirkan Allah dalam ruang lingkup consciousness/ kesadaran kita. Itulah masalah kita.

Saudara-saudariku,
Aku adalah ‘hadam’ (peladen, kacung, pelayan) dari tarekat naqshbandi. Kalau disebut “Haqqani” hanya karena Mursyid-ku adalah Muhammad Nazim Adil Al Haqqani, sulthanul auliya hadzihiz zaman, artinya siapa diantara kalian disini yang telah related dengan Tarekat Naqshbandi, that means “same with me”. Mau khodiriyyah naqshbandi, sama. Mau naqshbandi kholidiyah, sama. “Naqshbandi”. Naqshbandi adalah sesuatu yang menjadi sebutan attributive untuk menghadirkan Allah dengan sistematis yang kalau mau diungkap gambarannya dengan abstrak akan menyebabkan jidat kita berkerut. Aku mau bercerita, dan dengarkanlah dengan tawajuhmu, saudara-saudariku.

1427 tahun yang lalu ketika Rosulullah SAW harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayyidina Abu Bakar orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping Beliau dalam perjalanan menuju ke Madinah. Sayyidinia Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan “Penuh Adab yang Bersungguh”, di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rosulullah berjalan menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro (baca : tak sedikitpun) complain (mengeluh), criticizing, bertanya pun tidak, jare nang (katanya menuju) Madinah, lha kok ngidul (kenapa lewat Tenggara). Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar yang lebih tua dari Rosulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam kehidupan kita sekarang yang menjadi ruh dari reformasi, segala hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang. Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa yang dibuat oleh Rosulullah, karena di hati Beliau ada “CINTA” dan PERCAYA” dan sesuatu yang tidak lagi perlu “TAWAR MENAWAR”. Rosulullah, Al Amin, tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes dicintai. Pribadinya begitu rupa menimbulkan ‘desire’, suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangat penting untuk dijelaskan.

Beliau berjalan, dan Sayyidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, agak 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayyidina Abu Bakar sadar. “Ooo … mau istirahat ke Jabal/Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rosulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayyidina Abu Bakar, with no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi.

Islam adalah tuntunan dari Allah Ta’ala. Pertama-tama kita bukan ‘ngerti’. Pertama yang harus kita buat adalah Cinta, menghargai, kesediaan mematuhi dengan sangka baik. Tanpa kaca mata tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi “The Matter of Transaction”, tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rosulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan “Oooo …Rosulullah mau istirahat di Gua Tsur.” Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan digunung, pasti ada ular berbisanya. Itu ‘Reason’, pikiran digunakan sesudah Cinta, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang Well Enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (pikiran liar), yang bisa bertingkah macam-macam menimbulkan problem. Beliau Abu Bakar kemudian mendekati Rosulullah “Kasih aku kesempatan masuk. Rosulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayyidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3 orang, Pak Joko, Pak Amin dan saya (Syaikh Mustafa), barangkali sudah kruntelan disitu, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayyidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang disitu. Beliau buka slippernya/ sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rosulullah. Beliau tidak mau Rosulullah digigit ular. Akhirnya kakinya di catel, digigit oleh ular. Kemudian Beliau bilang, Silakan Masuk Rosulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon. Rosul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rosulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rosulullah. “Nangis kamu, kata Rosulullah.” “Tidak, jawab Abu Bakar, kakiku digigit ular.” There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rosulullah membentak si Ular “ Hai…Tahu nggak kamu, jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, bulunya pun haram sama kau.” Dialog Rosulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar As Shidiq, berkat mukjizat Beliau. Jawab si Ular “Ya aku ngerti kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan “Barang siapa memandang kekasihKu-Muhammad- fi ainil mahabbah / dengan mata kecintaan”, Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga. Kata Ular “ Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. Aku (ular) ingin memandang wajah kekasihMu fi ainal mahabbah. Jawab Allah “ Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya. Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu kamu, ya Muhammad. “Lihatlah, ini lihatlah wajahku, kata Rosulullah.” Ular itu memandang Rosulullah dengan penuh kecintaan, sesudah itu matilah dia. Datang ajalnya yang ma’tub, meninggal dengan sempurna. Ular itu telah mendahului kita untuk menyimpan rindu untuk bertemu Rosulullah ribuan tahun yang lalu. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan “Assalamu’alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah”. Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rosulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akherat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi ‘abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq pagi ini, supaya aku dan kamu berkhitmad.

Sesungguhnya persoalan hidup kita sederhana, berhentilah dari lalai, berhentilah dari sembrono, berhentilah dari kebiasaan suka menunda, berhentilah dan keluar dari benua tidak tanggung jawab. Kalau ada kewajiban untuk membersihkan, kenapa harus nyuruh orang, kalau itu bisa dilakukan sendiri. Sedangkan kalau ada keenakan, cepat-cepat ditarik dan dimasukkan ke kantong sendiri. Keluarlah aku dan kamu, saudara saudariku dari semua kebiasaan buruk itu.

Nggak ada cerita Islam, nggak ada cerita Iman, nggak ada cerita Ihsan tanpa usaha kita untuk membebaskan diri dari hal yang nista. Kegiatan Abu Bakar As Shiddiq membersihkan diri dari hal-hal yang nista. Ini pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam qur’an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada didalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart. Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rosulullah. Seperti yang saya sebut dengan cerita tadi, ketika sudah mati ular yang mulia itu, Rosulullah meminta jin yang sedang ada di gua itu untuk mengebumikan jenazah ular min ahlil jannah itu. Maka kemudian dikebumikanlah ular itu oleh jin penjaga gua.

Ketika itulah terjadilah kongregasi, dari ruhaniah yang dijemput dari alam barzah maupun alam azali. Semua orang yang sudah barzahi atau yang masih azali ruhnya dihadirkan untuk berkhitdmat, berdzikir kepada Allah Ta’ala, yang mana dzikirnya disebut “Khtm Khwjagan”. Inilah yang disebut “Naqshbandi”. Aku berkhidmat untuk itu. Tarekat itu seperti kemasan permen fisherman ini. Kalau kemasan permen ini dibuka, isinya “Islam Plus Sungguh”. Islam yang cuman textual dan yang spiritually diajarkan oleh Rosulullah, itu tergambarkan begini : “Yang namanya “Ulama adalah orang yang tahu bagaimana mengartikulasikan perintah-perintah Allah yang ada di qur’an dan yang ada di hadits nabi. Seseorang yang punya kapasitas untuk menggambarkan apa-apa perintah Allah. Tapi orang yang tahu menterjemahkan irodah/ kehendah Allah, bukan Amru Allah itu adalah wali. Wali adalah manusia-manusia yang bisa menarik sesuatu yang merupakan dari diri Rosulullah.

Kisah Uways Al Qorni
Ketika Rosulullah mau wafat, beliau berpesan kepada Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali agar baju yang dipakainya diberikan kepada Uways Al Qorni Al Yamani. Sayyidina Ali bertanya dalam hati : Siapa dia, begitu istimewanya mendapatkan atensi yang besar dari Rosulullah. Uways Al Qorni adalah orang yang tidak pernah ketemu Rosulullah physically, tapi tidak sedetikpun berpisah dengan Rosulullah. Dia juga sangat mulia pengkhidmatannya pada ibunya. Sayyidina Umar kurang senang mendengar Rosulullah yang dicintai, bicara tentang kematiannya. Setelah Rosulullah wafat dan selesai dimakamkan, Sayyidina Ali bertanya kepada Sayyidina Umar, Ingatkah kau pesan Rosulullah.” Tentu aku ingat pesan Rosulullah untuk berpegang kepada qur’an dan sunnah Beliau. “Bukan itu, jawab Sayyidina Ali, tapi menyerahkan baju yang dikenakan Rosulullah ini kepada Uways Al Qorni. Oh..ya kelalen aku...lupa aku. Keduanya kemudian menuju ke Yaman, suatu kota kecil yang entitasnya kecil. Ketika sampai di Yaman, Beliau Tanya kepada orang-orang disana, dan banyak orang yang tidak mengenal nama “Uways Al Qorni. Rupanya Uways Al Qorni, itu di Yaman, di desanya namanya tidak terkernal, kalau disini seperti “Sarimin” atau “Sariman”. Akhirnya, singkat cerita, keduanya ketemu Uways Al Qorni yang sedang menyulam kurma dengan ibunya. Uways Al Qorni membelakangi Ali dan Umar, tapi bisa mengatakan “Cepat kesini, serahkan baju itu kepadaku. Ali dan Umar heran, tidak melihat kenapa bisa tahu. Lebih heran lagi Uways Al Qorni bisa mengetahui siapa yang sedang berhadapan dengannya, yaitu Ali dan Umar. Berkat kecintaan Uways Al Qorni ini dibukakan oleh Allah Basyirah. Jaid, syarat datang ke Islam adalah membawa kecintaan, karena sudah ditanamkan sejak jaman azali, dan akhlaq yang kita bangun adalah menghadirkan Rosulullah ke dalam diri kita. Uways Al Qorni adalah salah satu sosok yang hidup pada masa Rosulullah, tapi tidak pernah bertemu secara fisik, namun tak sedetikpun terlepas dengan kehadiran Rosulullah.

Allahumma inna nas aluka antas toyyiqabana minal ghaflah ilal khudur amma naka wa ammanar rosul wa ammanal masayih. (Mohon maaf bila kesalahan text kalimat, karena keterbatasan penulis). Ya Allah, aku mohon kepadaMu, bangkitkan aku dari lalai, untuk selalu terus dengan Kamu, dan selalu terkait dengan Rosul, dan selalu terkait Syaikh.

Wa min Allah at taufiq
Al Fatehah
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

1 comments:

  1. mhttp://sodinco.blogspot.com/2008/04/sohbat-nasihat-agama-kh-mustafa-masud.html

    ReplyDelete

Popular Posts