Pages

Wednesday, April 8, 2009

TANDA-TANDA MENGIKUTI HAWA NAFSU


Oleh : Muhammad Luthfi Ghozali

مِنْ عَلَامَاتِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ اِلىَ نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلِ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ
Diantara tanda-tanda mengikuti hawa nafsu, giat melaksanakan amaliyah tambahan dan malas melaksanakan amaliyah yang diwajibkan. (Hikam Ibnu Atho’illah Assakandary)

Disaat semangat berbenah diri sedang menghangat, berarti pintu rahmat dan inayah sedang membuka hati. Ibarat kuda berlari, maka amaliah para salik yang semula tersendat menjadi tidak mau berhenti. Bangun malam yang biasanya berat, menjadi ringan sehingga dzikir dan sholat berjalan tanpa hambatan. Seperti ketika bulan Ramadhan datang, meski tanpa dikomando oleh atasan, musollah-musollah menjadi hidup dan masjid-masjid jama’ahnya melober ke jalan. Hal itu bisa terjadi, karena di bulan yang mulia itu Allah sedang mencurahkan rahmatNya di dalam hati yang mendapatkan perhatian.

Bagi seorang salik, meski semangat ibadah sedang tumbuh subur di dalam rongga dada sehingga jalan malam yang semula gelap gulita menjadi terang benderang, namun demikian, mereka tetap harus waspada dan selalu memperhatikan rambu-rambu jalan. Rambu-rambu itu bukan yang terpasang di persimpangan atau pertigaan jalan, tetapi tersembunyi di dalam rongga dada hingga orang lain menjadi samar. Rambu-rambu jalan itu ada diantara nafsu dan hati, sehingga selain orangnya sendiri sulit dapat mengenali.

Seorang salik dituntut tidak harus mampu membangun dan memakmurkan amal ibadah saja, tetapi juga mengenali sesuatu yang mendorong dibaliknya. Apa yang mendasari amaliah yang sedang ditekuni itu, hawa nafsu ataukah hati. Itu harus dilakukan, karena hasil yang dikerjakan akan bergantung dengan yang mendorong dari dalam. Apabila yang mendorong itu hati, berarti perjalanan amal akan sampai kepada tujuan. Namun bila hawa nafsu dan setan, amaliah itu malah akan memasukkan dirinya ke neraka jahannam.

Amal Sunnah dan Amal Wajib
Secara manusiawi setiap manusia enggan diperintah, kecuali terpaksa. Demikian pula orang yang ahli ibadah. Oleh karena itu, terkadang mereka cenderung lebih senang melaksanakan ibadah sunnah daripada yang wajib. Terkadang orang giat bangun malam. Mereka mengerjakan sholat dan dzikir semalam suntut bahkan di tempat sepi seorang diri, tetapi ketika menjelang saat waktu sholat subuh datang, sajadah segera dilipat, bantal dan selimut disekap hingga sholat subuh terlewat.

Padahal dzikir dan sholat malam hukumnya sunnah sedangkan sholat subuh hukumnya wajib. Ibadah sunnah adalah ibadah tambahan. Apabila ibadah wajib ada kekurangan maka yang tambahan dapat menyempurnakan. Meskipun ibadah tambahan dapat mengangkat kemuliaan, menguatkan iman dan menancapkan kecintaan sehingga hamba yang bertakwa mendapatkan kehormatan. Namun, apabila yang wajib ditinggalkan, itu pertanda dzikir dan sholat malam yang dilakukan itu hanya mengikuti dorongan hawa nafsu dan setan. Itulah rambu-rambu jalan, agar perjalanan seorang salik tidak tersesat di tengah jalan.

Apabila perjalanan malam yang mestinya menyampaikan kepada tujuan tetapi malah menyesatkan, maka cahaya yang terang bisa jadi menyilaukan. Akibatnya, batasan jalan menjadi kabur sehingga orang yang terlanjur tersesat, sulit diingatkan. Seperti orang mengatakan: “Bahwa sholat itu untuk dzikir kepada Tuhan”, itu mereka fahami dari sebuah firman: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS.Thohaa(20)14). Ketika mereka merasa dapat mengingat Tuhan, merasa dekat meski sedang tidak mengerjakan sholat, sehingga setiap kemauan serasa dikabulkan, selanjutnya sholatnya ditinggalkan, karena sholat dianggap hanya sebagai kendaraan.

Padahal, meskipun orang telah mendapat karomah besar. Dapat berjalan di udara seperti burung atau menyelam di dasar air seperti ikan. Sholat subuh itu seharusnya tetap dikerjakan. Itu hanya dengan satu alasan, bahwa sholat subuh itu perintah sedangkan karomah adalah pemberian. Bahkan tidak hanya itu, kemuliaan hidup itu diturunkan, karena seorang hamba telah melaksanakan kwajiban.

Terkadang bisa jadi nafsu yang mendorong ibadah haji, maka setiap tahun orang ingin pergi ke tanah suci. Dia ingin menjadi orang suci, namun juga tidak peduli meski uang ongkos haji itu didapat dari hasil korupsi. Itulah godaan setan yang diselipkan dalam hawa nafsu manusiawi. Dengan jebakan seperti itu banyak orang tersesat jalan dan lupa diri. Itu bisa terjadi karena perjalanan ruhani tanpa bimbingan guru sejati, sehingga perjalanan tidak sempat memperhatikan rambu-rambu jalan. Dalam urusan kebajikan, kemauan hawa nafsu dan hati memang sulit dibedakan, namun dengan konsep asy-Syekh Ibnu Atho’illah ra. di atas, maka yang semestinya samar menjadi terang benderang








0 comments:

Post a Comment

Popular Posts